Tari Lakadandio adalah tarian tradisional yang berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Tarian ini telah ditampilkan sejak masa Wa Ode Kamomo Kamba, putri dari La Ode Husein, yang menjadi raja Kerajaan Muna pada abad ke-16 Masehi. Tari Lakadandio biasanya dilakukan oleh para gadis remaja dalam rangkaian acara kedewasaan masyarakat Muna yang disebut Karia.
Nama Tari Lakdandio berasal dari Bahasa Muna, yang berarti “menari sambil berkeliling.” Penamaan ini didasari oleh gerakan para penari yang berkeliling seperti burung yang terbang berkeliling dengan sayap yang indah.
Tari Lakadandio berasal dari kisah mitologi tentang seorang bidadari yang tidak dapat kembali ke kahyangan. Dalam cerita rakyat Muna, ada delapan bidadari yang turun ke bumi untuk mandi di sebuah sungai. Kecantikan mereka menarik perhatian seorang pemuda yang mengintip para bidadari yang sedang mandi. Ia mencuri salah satu selendang bidadari tersebut, dan akibatnya, salah satu bidadari tidak dapat kembali ke kahyangan. Sang pemuda kemudian menikahi bidadari tersebut, dan mereka memiliki seorang anak perempuan. Namun, karena pelanggaran suaminya, bidadari tersebut harus kembali ke kahyangan, dan sebagai tanda perpisahan, dia menari sambil mendendangkan lagu.
Tari Lakadandio menggambarkan keindahan budaya dan mitologi dari daerah Muna. Semoga penari-penari ini terus memperkaya warisan budaya Indonesia. Tari Lakadandio diiringi musik gong, gendang, dan ndengu-ndengu (gong kecil 3 buah). Ditengah gerakan ada pula nyanyian merdu lakadandio sehingga menambah nilai estetik tari.